Kamis, 11 Juli 2013

Hepar


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Menurut Undang-Undang RI no.23 Tahun 1992, pembangunan Kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang optimal.
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati dan diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati.
Berdasarkan data di RSUD Gunung Jati Cirebon bahwa prevalensi sirosis hepatis selama 7 bulan terakhir adalah sebanyak 23 kasus. Ini menandakan bahwa besarnya kasus-kasus sirosis hepatis yang dialami oleh masyarakat.
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus generative. Di Indonesia prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat pendidikan saja (Nurdjanah, 2007). Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003. Sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibanding kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1. Hasil penelitian di RSDM menunjukkan pada pasien sirosis, kelompok umur 51-60 tahun merupakan kelompok umur yang terbanyak (Suyono et.al, 2006).
B.      TUJUAN
1.      Agar mahasiswa keperawatan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pencernaan akibat sirosis hepatis secara langsung dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual dengan pendekatan proses Keperawatan (pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi, evaluasi).
2.      Agar mahsiswa keperawatan bisa menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masalah keperawatan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Anatomi dan Fisiologi Hepar
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang amat kompleks (Amirudin, 2007).
Setiap lobus dibagi menjadi lobuli. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus mengelilingi vena sentralis. Diantara lempengan terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang dibatasi sel kupffer. Sel kupffer berfungsi sebagai pertahanan hati (Lindseth, 2006). Sistem biliaris dimulai dari kanalikulus biliaris, yang merupakan saluran kecil dilapisi oleh mikrovili kompleks di sekililing sel hati. Kanalikulus biliaris membentuk duktus biliaris intralobular, yang mengalirkan empedu ke duktus biliaris di dalam traktus porta (Chandrasoma, 2006).
Hati mempunyai 2 aliran darah; dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatis dan dari aorta melalui arteri hepatica. Darah dari vena porta dan arteri hepatica bercampur dan mengalir melalui hati dan akhirnya terkumpul dalam v. hepatica dextra dan sinistra, yang bermuara ke dalam v. cava. Beberapa titik anastomosis portakava terhadap darah pintas di sekitar hati pada sirosis hepatis yang bermakna klinis, yaitu v. esophageal, v. paraumbilikalis, dan v. hemoroidalis superior. (Lindseth, 2006)
Fungsi hati meliputi: 1) penyaringan dan penyimpanan darah; 2) metabolism karbohidrat, protein, lemak, hormone, dan zat kimia asing; 3) pembentukan empedu; 4) penyimpanan vitamin dan besi; dan 5) pembentukan factor koagulasi. (Guyton & Hall, 2007).
Fungsi hati dalam metabolism protein adalah menghasilkan protein plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid), protrombin, fibrinogen, dan factor bekuan lainnya. Fungsi hati dalam metabolism lemak adalah menghasilkan lipoprotein, kolesterol, fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2007).
Hati merupakan komponen sentral system imun. Sel Kupffer meliputi 15% massa hati dan merupakan 80% dari total fagosit tubuh, yang mempresentasikan antigen kepada limfosit (Amirudin, 2007).
Metabolisme bilirubin normal terjadi dalam beberapa langkah seperti di berikut ini: 1) Heme dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi, 2) Bilirubin tak terkonjugasi yang dibawa ke hepar berikatan dengan albumin, 3) Ambilan protein karier hepatik (Y dan Z) hepatik bilirubin tak terkonjugasi setelah disosiasi dari albumin, 4) Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat untuk menghasilkan bilirubin glukuronida/ bilirubin terkonjugasi, yang menjadi larut dalam air dan dapat diekskresi, 5) Ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam kanalikulus empedu, 6) Pasase bilirubin terkonjugasi ke bawah cabang biliaris, 7) Reduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus, 8) Sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen, 9) Ekskresi urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi dalam ginjal. (Lindseth, 2006).
Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengtahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit, dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, Gamma-GT dan albumin sering disebut tes fungsi hati atau LFTs, yang pada banyak kasus dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum timbulnya manifestasi klinis. Tes-tes ini dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori utama, antara lain: 1) pengingkatan enzim aminotransferase (transaminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoselluler atau inflamasi; 2) keadaan patologis yang mempengaruhi system empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan gammaGT; 3) fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea, dan factor pembekuan. Pada gagal hati akut, glukosa darah dan pH arteri dapat juga dipertimbangkan sebagai pertanda bantuan cadangan fungsional hati. Bilirubin dapat meningkat pada hampir semua tipe patologis hepatobilier (Amirudin, 2007).
Untuk pemeriksaan penyaring dari sekian banyak enzim, yang paling diperlukan agaknya adalah enzim SGPT, gamma GT, dan CHE. SGPT bisa dipakai untuk melihat adanya kerusakan sel, gamma GT untuk melihat adanya kolestasis, dan CHE untuk melihat gangguan fungsi sintesis hati. (Akbar, 2007).


B.      Hematemesis dan Melena
Gangguan hemostasis dan penyakit hati merupakan hal yang beriringan. Hal ini bukan hanya menggambarkan peranan hati sebagai sumber protein plasma dan factor pembekuan, namun juga produksi protein-protein yang secara normal akan menghambat koagulasi, control fibrinolisis, atau aktivasi fibrinolisis. Banyak pasien dengan penyakit hati mengalami defisiensi vitamin K atau vitamin C. (Amirudin, 2007).
Hematemesis dan atau melena disebabkan oleh perdarahan akut dari traktus gastrointestinal bagian atas atau dari mulut atau pharynx. Pada orang dewasa, perdarahan dari gaster atau ulserasi duodenal dan varises esophagus menjadi penyebab yang paling sering (Hastings, 2005).
Table 1: UGI Causes of Hematemesis & Melena
Sources
%
Duodenal Ulcerations
Gastric Erosions
Gastric Ulcers
Gastric or esophageal varices
Mallory-Weiss tears
Erosive Esophagitis
Erosive Duodenitis
Neoplasms
Stomal Ulcers
Esophgeal Ulceration
Miscellaneous
24.3%
23.4%
21.3%
10.3%
7.2%
6.3%
5.8%
2.9%
1.8%
1.7%
6.8%













Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda sebagai berikut: 1) hipotensi (<90>100/menit; 2) tekanan diastolic ortostatik turun .10 mmHg atau sistolik turun >20 mmHg; 3) frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 menit; 4) akral dingin; 5) kesadaran menurun; 6) anuria atau oligouria (produksi urin <30>
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: 1) hematemesis, 2) hematokezia (berak darah segar), 3) darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan lavase tidak jernih, 4) hipotensi persisten, 5) dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml (Adi, 2007).
C.      Ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata, atau jaringan lainnya (membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sclera mata, dan jika terjadi konsentasi bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai 7 mg%. (Sulaiman, 2007).
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus: 1) pembentukan bilirubin yang berlebihan; 2) gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati; 3) gangguan konjugasi bilirubin; dan 4) penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat factor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanis (Lindseth, 2006).
Gangguan ekskresi bilirubin, baik karena factor fungsional maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi kedalam urin dan menimbulkan bilirubiuria serta urin yang gelap. Urobilinogen feses dan urin sering menurun sehingga feses terlihat pucat. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna yang terjadi kemudian membuktikan adanya ikterus kolestatik (ikterus obstruktif). Kolestatis dapat bersifat intrahepatik atau ekstrahepatik (Lindseth, 2006).

D.     Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan pada hati. (Newman, Dorland, 2002).
Kebanyakan kasus hepatitis virus akut pada anak dan dewasa disebabkan oleh salah satu agen berikut : virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), virus hepatitis E (HEV), atau virus hepatitis G (HGV). (Jawetz, Melnick, et al, 2005)
Setelah terpajan virus hepatitis, dapat terjadi sejumlah sindrom klinis :
1.       Keadaan pembawa : tanpa memperlihatkan penyakit, atau dengan hepatitis kronis subklinis.
2.       Infeksi asimtomatik : hanya bukti serologis.
3.       Hepatitis akut : anikterik atau ikterik.
4.       Hepatitis kronis : dengan atau tanpa perkembangan menjadi sirosis.
5.       Hepatitis fulminan : nekrosis hati submasif sampai masif
HAV dan HEV tidak menyebabkan keadaan pembawa atau menyebabkan hepatitis kronis. (Robbins, Stanley, et al, 2007)
Patologi : pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran dan berwarna normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar, dan pada palpasi “teraba nyeri di tepian”. Secara histologi, terjadi kekacauan susunan hepatoseluler, cedera, dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempaurna, bila fase akut penyakit mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif atau masif dapat mengakibatkan gagal hati fulminan dan kematian (Lindseth, 2006).
Manifestasi klinis :
1.       Stadium praikterik berlangsung 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi lebih coklat.
2.       Stadium ikterik selama 3-6 minggu. Ikterus terlihat pada sklera dan seluruh tubuh. Keluham berkurang, pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah, tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3.       Stadium pascaikterik. Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi (Mansjoer, 2001).
Pengobatan : tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah baring, diet rendah lemak, dan tinggi karbohidrat. Pemberian secara intravena diberikan bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik perlu dibatasi sampai gejala mereda dan fungsi hati normal lagi. Pengobatan untuk hepatitis B kronis atau hepatitis C kronis simtomatik adalah terapi antivirus dengan interferon-α. Terapi antivirus untuk hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental. Transplantasi hati merupakan terapi pilihan bagi penyakit stadium akhir (Lindseth, 2006).

Pencegahan : terhadap virus hepatitis yang ditularkan melalui fecal-oral adalah dengan sanitasi yang sempurna, kesehatan umum, dan pembuangan tinja yang baik. Pencegahan terhadap virus hepatitis B adalah imunisasi. Selain itu, virus hepatitis yang ditularkan dengan jalur parenteral dicegah dengan cara pendonor tidak boleh yang menderita hepatitis, serta perlindungan terhadap petugas kesehatan yang terpapar dengan produk darah (Mansjoer, 2001).
E.      Sirosis Hepatis
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Lindseth, 2006).
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsy hati (Nurdjanah, 2007).


Patogenesis
Jika sel-sel parenkim hati hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa yang akhirnya akan berkontraksi disekitar pembuluh darah, sehingga sangat menghambat darah porta melalui hati. Proses penyakit ini dikenal sebagai sirosis hati. Penyakit ini lebih umum disebabkan oleh alkoholisme, tetapi penyakit ini juga dapat mengikuti masuknya racun seperti karbon tetraklorida, penyakit virus seperti hepatitis infeksiosa, obstruksi duktus biliaris, dan proses infeksi di dalam duktus biliaris (Guyton & Hall, 2007).
Berdasarkan penelitian terakhir, terdapat peran sel stelata dalam pathogenesis sirosis hati. Dalam keadaan normal sel stelata berperan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar factor tertentu secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus didalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat (Nurdjanah, 2007).
Manifestasi Klinis
Gejala awal: perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas (Nurdjanah, 2007).
Gejala lanjut: gejala lebih menonjol terutama jika ada kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, hati biasanya membesar pada awal sirosis, bila hati mengecil artinya prognosis kurang baik. Konsistensi hati biasanya kenyal, tumpul, dan nyeri tekan. Terjadi splenomegali, ascites di vena di kolateral perut dan ekstra abdomen, dan manifestasi di luar perut terdapat spider nevi di tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, dan caput medusae (Suyono et.al, 2006).
Gangguan hematologic yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan, anemia, leucopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya pembentukan factor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi (Lindseth, 2006).
F.       Hipertensi Portal
Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas dan kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior (Surif & Roma, 2000).
System porta kadang terhambat oleh gumpalan besar dalam vena porta atau cabang utamanya. Bila system porta terhambat, kembalinya darah dari usus dan limpa melalui system porta ke sirkulasi sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan hipertensi porta dan tekanan kapiler dalam dinding usus meningkat 15-20 mmHg diatas normal. Penderita sering meninggal dalam beberapa jam karena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler kedalam lumen dan dinding usus (Guyton & Hall, 2007).
Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik) (Surif & Roma, 2000).
Studi terakhir menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara endotelin-1 dan oksida nitrik dapat merupakan penyebab terpenting peningkatan tahanan intrahepatik yang merupakan komponen kritis dari sebagian besar hipertensi portal (Justyna, 2006).
Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena cava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus) (Lindseth, 2006).
G.     Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi (Nurdjanah, 2007).
Panduan tatalaksana pasien dengan varises gastroesofageal meliputi pencegahan episode perdarahan awal (profilaksis primer), pengendalian perdarahan aktif, dan pencegahan ulang setelah perdarahan awal (profilaksis sekunder) (Justyna, 2006).
Penatalaksanaan perdarahan pada sirosis hati adalah sebagai berikut. 1) tamponade dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple lumen) dan Minnesota (quadruple lumen), vena ditekan dengan balon dan disuntik dengan larutan yang membuat bekuan dalam vena, 2) vasopressin yang menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran darah splanknik. 3) operasi pirau portal, menurunkan tekanan portal dengan melakukan anastomosis vena porta (tekanan tinggi) dengan vena cava inferior (tekanan rendah) (Lindseth, 2006).


BAB III
PEMBAHASAN
KASUS SIROSIS HEPATIS
TuanM” 54 tahun beragama katolik suku jawa pendidikan SMU, pekerjaan purnawirawan ABRI, dating kerumah sakit tanggal 19 juni 2000 sejak seminggu yang lalu klien mengeluh mual dan perut semakin membesar BAK sedikit dan berwarna kuning, 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB diksertai darah segar (hematomesis melena). klien kerumah sakit bogor, hasilnya mujal muntah dan BAB darah berhenti, namun keaadan klien semakkin lemah dan perut semmakin membesar, akhirnya klien dibawwa kerumah sakit lain, keaadan kllien pada saat penngkajian sudah tanpak sakit, kesadaran compos metris (CM) tanda vital 120/80 Hg, RR 20x/menit, N 8x/menit, S 36,5 ⁰c terdapat acitegs dengan llingkar perut 85 cm, bunyi jantung s1 dan s2 normal, murmur dan gallop tidak ditemukan, paruvesikuleroksi dada ke2 paru, batuk dan seputum tidak ditemukan, akral hangat, edema ekstrimitas, turgor kulit elastis integritas kulit utuh, konjung vita pucat, tonus otot lemah, diagnosa medis sirosis hepatus tanggal 19 juni 2000
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HIROSIS HEPATIS
RIWAYAT SINGKAT KLIEN
A.      PENGKAJIAN

IDENTITAS KLIEN
Nama : tuan “M”
Umur : 54 tahun
Agama : Katolik
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Purnawirawan ABRI
Tanggal masuk rumah sakit : 19 juni 2000
Alas an masuk rumah sakit : keadaan klien lemah dan perut semakin membesar
Tanggal pengkajian :
Keluhan Utama : Mual dan perut semakin membesar
Diagnosa masuk : Hematomesis melena-gangguan fungsi hati (sirosis hepatis), sebelum masuk rumah sakit bogor klien pernah dibawa ke rumah sakit yang lain, klien mengeluh muntah dan perut semakin membesar, BAK sedikit dan berwarna kkuning. 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB disertai darah segar (Hematomesis melena).
Hasil pengkajian
1.       Kesadaran : Compos metris (CM)
2.       Tanda-tanda vital : TD 120/80 Hg, RR 20x/menit, N 8/menit, Suhu 36,5 ⁰c
3.       Abdomen : Terdapat acites dengan lingkar perut 85 cm
4.       Kardiovaskuler : s1 dan s2 normal

5.       Paru-paru :
·         Tidak ditemukan murmur dan golap
·         Paruvesikuletiksi dada ke 2 paru
·         Batuk
·         Skutum tidak ditemukan
6.       Akral hangat
7.       Edema ekstrimata
8.       Turgor kulit elastic
9.       Integritas kulit utuh
10.   Kunjungvita pucat
11.   Tonus otot lemah
Riwayat penyakit
a.       Keluhan utama : klien mengeluh mual dan perut semakin membesar
b.      Riwayat penyakit sekarang : 7 hari yang lalu muntah dan BAB disertai darah segar (hematomesis melena).
c.       Riwayat penyakit dahulu : 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB disertai darah segar (hematomesis melena). klien kerumah sakit bogor, hasilnya mujal muntah dan BAB darah berhenti, namun keaadan klien semakin lemah dan perut semakin membesar, akhirnya klien dibawa kerumah sakit lain
d.      Riwayat penyakit keluarga
e.      Riwanyat aktivitas sehari-hari
f.        Data psikologis, sosiologi dan spiritual

Pemeriksaan fisik
·         Ku umum : Kesadaran compos metris (CM) tanda vital 120/80 Hg, RR 20x/menit, N 8x/menit, S 36,5 ⁰c.
·         Abdomen : Terdapat acites dengan llingkar perut 85 cm,
·         Kardiovaskuler : Bunyi jantung s1 dan s2 normal, murmur dan gallop tidak ditemukan,
·         Paru-paru : Paruvesikuleroksi dada ke2 paru, batuk dan seputum tidak ditemukan, akral hangat,
·         Ekstremitas : Edema ekstrimitas,
·         Kulit : Turgor kulit elastis integritas kulit utuh,
·         Mata : Konjung vita pucat,
·         Integrumen : Tonus otot lemah,
B.      Diagnosa keperawatan
1.       Resiko gangguan nutrisi b/d intake tidak adekuat ditandai dengan mual muntah
2.       Intoleransi aktivitas b/d tonus otot lemah
3.       Resiko gangguan integritas kulit b/d edema ekstermitas
C.      Intervensi keperawatan
Dx 1 Resiko gangguan nutrisi b/d intake tidak adekuat di tandai dengan mual muntah
a.       Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu
Rasional:
Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.  Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia,dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
b.      Anjurkan pasien untuk istirahat/bedrest
Rasional:
 Dimungkinkan dapat mengurangi dan menstabilkan kebutuhan nutrisi dan mengurangi tingkat energi yang tidak diperlukan karena pasien dalam kondisi meningkat energinya dalam mengalami proses penyakit.
c.       Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet
Rasional
Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dnegan status uremik.
d.      Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
Rasional:
 Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejjukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral.  Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
e.      Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional:
 Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan  makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
f.        Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak
Rasional:
 Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
g.       Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
Rasional
Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
h.      Kolaborasi
·         Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional:
 Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah

·         Pemasangan NGT
Rasional:
Mempertahankan intake yang adekuat, dan menghindarkan terjadinya reaksi muntah yang berlanjut.
·         Berikan obat sesuai dengan indikasi:Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan
Rasional
Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemi. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
·         Kolaborasi pemberian antiemetik
Rasional:
Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
Dx 2 intoleransi aktifitas b/d tonus otot lemah
a.       Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi eliktrikal
Rasional : memeberikan dasar pengetahuan untuk memahami variasi individual dan memahami alasan intervensi terapeutik
b.      Jelaskan/tekankan masalah disritmia khusus dan tindakan terapeutik pada pasien/orang terdekat
Rasional : informasi terus-menerus/baru dapat menurunkan cemas sehubungan dnegan ketidaktahuan dan menyiapkan pasien/orang terdekat. Pendidikan pada orang terdekat mungkin penting bila pasien lansia, mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran, atau tak mampu atau tak minat belajar/mengikuti instruksi. Penjelasan berulang mungkin diperlukan, karena kecemasan dan/atau hambatan informasi baru dapat menghambat/membatasi belajar.
c.       Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung
Rasional : pacu sementara mungkin perlu untuk neningkatkan pembentukan impuls atau menghambat takidisritmia dan aktivitas ektopik supaya mempertahankan fungsi kardiovaskuler sampai pacu spontan diperbaiki atau pacuan permanent dikakukan.
d.      Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan berlebihan. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan aktivitas cepat, contoh pusing, silau, dispnea, nyeri dada.
Rasional : bila disritmia ditangani dengan tepat, aktivitas normal harus dilakukan. Program latihan berguna dalam memperbaiki kesehatan kardiovaskuler.
Dx 3 resiko gangguan integritas kulit b/d edema ekstermitas
Tujuan : Integritas kulit baik
Intervensi :
a.       Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
b.      Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
c.       Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
d.      Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
e.      Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
f.        Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan
dengan benar.


BAB IV
PENUTUP
1.       KESIMPULAN
                Dari kasus di atas dapat kita mengangkat kesimpulan bahwa klien menderita hirosis hepatis,hirosis hepatis itu sendiri di definisikan oleh beberapa ahli adalah:
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Lindseth, 2006).
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsy hati (Nurdjanah, 2007).
Masalah Keperawatan yang ada pada teori tidak selalu sama dengan masalah yang muncul pada kasus, karena respon individu secara bio-psiko-sosial-spiritual yang spesifik terhadap penyakit dan juga manusia itu adalah makhluk yang unik.

2.       SARAN
a.       Mahasiswa
-          Gunakanlah waktu sebaik-baiknya untuk mencari ilmu untuk masa depan yang cemerlang.
-          Gunakanlah makalah ini sebagai sumber ilmu untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sirosis hepatis.
b.      Akademik
-          Bimbinglah mahasiswa-mahasiswa keperawatan dalam membuat asuhan keperawatan yang baik dan benar


DAFTAR PUSTAKA
Nursing Practice Hospital and Home the Adult , Second edition, Toronto. Churchill Livingstone. Bullock, Barbara (2000).
Brunner&Suddarth’s: Textbook of Medical Surgical Nursing.9th. Philadelphia: Lippincott.University of Utah Hospital (2006),
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.


Tidak ada komentar: