BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut
Undang-Undang RI no.23 Tahun 1992, pembangunan Kesehatan sebagai salah
satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran,
kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat Kesehatan yang optimal.
Sirosis
hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
menahun pada hati dan diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi, regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam
susunan parenkim hati.
Berdasarkan
data di RSUD Gunung Jati Cirebon bahwa prevalensi sirosis hepatis
selama 7 bulan terakhir adalah sebanyak 23 kasus. Ini menandakan bahwa
besarnya kasus-kasus sirosis hepatis yang dialami oleh masyarakat.
Sirosis
adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus generative. Di
Indonesia prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan dari beberapa
pusat pendidikan saja (Nurdjanah, 2007). Sirosis hepatis sebagian besar
disebabkan oleh hepatitis penderitanya juga tidak pernah berkurang
terutama dari pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003.
Sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibanding kaum
wanita dengan perbandingan 2-4 : 1. Hasil penelitian di RSDM menunjukkan
pada pasien sirosis, kelompok umur 51-60 tahun merupakan kelompok umur
yang terbanyak (Suyono et.al, 2006).
B. TUJUAN
1. Agar
mahasiswa keperawatan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan sistem pencernaan akibat sirosis hepatis secara langsung
dan komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual dengan
pendekatan proses Keperawatan (pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana
keperawatan, implementasi, evaluasi).
2. Agar mahsiswa keperawatan bisa menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masalah keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Hepar
Hati
adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang amat kompleks (Amirudin, 2007).
Setiap
lobus dibagi menjadi lobuli. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal
yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus mengelilingi
vena sentralis. Diantara lempengan terdapat kapiler yang disebut
sinusoid yang dibatasi sel kupffer. Sel kupffer berfungsi sebagai
pertahanan hati (Lindseth, 2006). Sistem biliaris dimulai dari
kanalikulus biliaris, yang merupakan saluran kecil dilapisi oleh
mikrovili kompleks di sekililing sel hati. Kanalikulus biliaris
membentuk duktus biliaris intralobular, yang mengalirkan empedu ke
duktus biliaris di dalam traktus porta (Chandrasoma, 2006).
Hati
mempunyai 2 aliran darah; dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta hepatis dan dari aorta melalui arteri hepatica. Darah dari vena
porta dan arteri hepatica bercampur dan mengalir melalui hati dan
akhirnya terkumpul dalam v. hepatica dextra dan sinistra, yang bermuara
ke dalam v. cava. Beberapa titik anastomosis portakava terhadap darah
pintas di sekitar hati pada sirosis hepatis yang bermakna klinis, yaitu
v. esophageal, v. paraumbilikalis, dan v. hemoroidalis superior.
(Lindseth, 2006)
Fungsi
hati meliputi: 1) penyaringan dan penyimpanan darah; 2) metabolism
karbohidrat, protein, lemak, hormone, dan zat kimia asing; 3)
pembentukan empedu; 4) penyimpanan vitamin dan besi; dan 5) pembentukan
factor koagulasi. (Guyton & Hall, 2007).
Fungsi
hati dalam metabolism protein adalah menghasilkan protein plasma berupa
albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid),
protrombin, fibrinogen, dan factor bekuan lainnya. Fungsi hati dalam
metabolism lemak adalah menghasilkan lipoprotein, kolesterol,
fosfolipid, dan asam asetoasetat (Amirudin, 2007).
Hati
merupakan komponen sentral system imun. Sel Kupffer meliputi 15% massa
hati dan merupakan 80% dari total fagosit tubuh, yang mempresentasikan
antigen kepada limfosit (Amirudin, 2007).
Metabolisme
bilirubin normal terjadi dalam beberapa langkah seperti di berikut ini:
1) Heme dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi, 2)
Bilirubin tak terkonjugasi yang dibawa ke hepar berikatan dengan
albumin, 3) Ambilan protein karier hepatik (Y dan Z) hepatik bilirubin
tak terkonjugasi setelah disosiasi dari albumin, 4) Konjugasi bilirubin
dengan asam glukuronat untuk menghasilkan bilirubin glukuronida/
bilirubin terkonjugasi, yang menjadi larut dalam air dan dapat
diekskresi, 5) Ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam kanalikulus
empedu, 6) Pasase bilirubin terkonjugasi ke bawah cabang biliaris, 7)
Reduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus,
8) Sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen,
9) Ekskresi urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi dalam ginjal.
(Lindseth, 2006).
Pemeriksaan
kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan
diagnosis, mengtahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan
penyakit, dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin
serum, aminotransferase, alkali fosfatase, Gamma-GT dan albumin sering
disebut tes fungsi hati atau LFTs, yang pada banyak kasus dapat
mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Tes-tes ini dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori
utama, antara lain: 1) pengingkatan enzim aminotransferase
(transaminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan
hepatoselluler atau inflamasi; 2) keadaan patologis yang mempengaruhi
system empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan
fosfatase alkali dan gammaGT; 3) fungsi sintesis hati, seperti produksi
albumin, urea, dan factor pembekuan. Pada gagal hati akut, glukosa darah
dan pH arteri dapat juga dipertimbangkan sebagai pertanda bantuan
cadangan fungsional hati. Bilirubin dapat meningkat pada hampir semua
tipe patologis hepatobilier (Amirudin, 2007).
Untuk
pemeriksaan penyaring dari sekian banyak enzim, yang paling diperlukan
agaknya adalah enzim SGPT, gamma GT, dan CHE. SGPT bisa dipakai untuk
melihat adanya kerusakan sel, gamma GT untuk melihat adanya kolestasis,
dan CHE untuk melihat gangguan fungsi sintesis hati. (Akbar, 2007).
B. Hematemesis dan Melena
Gangguan
hemostasis dan penyakit hati merupakan hal yang beriringan. Hal ini
bukan hanya menggambarkan peranan hati sebagai sumber protein plasma dan
factor pembekuan, namun juga produksi protein-protein yang secara
normal akan menghambat koagulasi, control fibrinolisis, atau aktivasi
fibrinolisis. Banyak pasien dengan penyakit hati mengalami defisiensi
vitamin K atau vitamin C. (Amirudin, 2007).
Hematemesis
dan atau melena disebabkan oleh perdarahan akut dari traktus
gastrointestinal bagian atas atau dari mulut atau pharynx. Pada orang
dewasa, perdarahan dari gaster atau ulserasi duodenal dan varises
esophagus menjadi penyebab yang paling sering (Hastings, 2005).
Table 1: UGI Causes of Hematemesis & Melena
| |
Sources
|
%
|
Duodenal Ulcerations
Gastric Erosions
Gastric Ulcers
Gastric or esophageal varices
Mallory-Weiss tears
Erosive Esophagitis
Erosive Duodenitis
Neoplasms
Stomal Ulcers
Esophgeal Ulceration
Miscellaneous
|
24.3%
23.4%
21.3%
10.3%
7.2%
6.3%
5.8%
2.9%
1.8%
1.7%
6.8%
|
Perdarahan
akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda-tanda
sebagai berikut: 1) hipotensi (<90>100/menit; 2) tekanan
diastolic ortostatik turun .10 mmHg atau sistolik turun >20 mmHg; 3)
frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 menit; 4) akral dingin; 5)
kesadaran menurun; 6) anuria atau oligouria (produksi urin <30>30>90>
Kecurigaan
perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi hemodinamik
tidak stabil ialah bila ditemukan: 1) hematemesis, 2) hematokezia (berak
darah segar), 3) darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dan lavase
tidak jernih, 4) hipotensi persisten, 5) dalam 24 jam menghabiskan
transfusi darah melebihi 800-1000 ml (Adi, 2007).
C. Ikterus
Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sclera mata, atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin
yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Ikterus yang ringan
dapat dilihat paling awal pada sclera mata, dan jika terjadi konsentasi
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah dapat
dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai 7
mg%. (Sulaiman, 2007).
Empat
mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus: 1)
pembentukan bilirubin yang berlebihan; 2) gangguan pengambilan bilirubin
tak terkonjugasi oleh hati; 3) gangguan konjugasi bilirubin; dan 4)
penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat factor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan
oleh obstruksi mekanis (Lindseth, 2006).
Gangguan
ekskresi bilirubin, baik karena factor fungsional maupun obstruktif,
terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi
kedalam urin dan menimbulkan bilirubiuria serta urin yang gelap.
Urobilinogen feses dan urin sering menurun sehingga feses terlihat
pucat. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih
kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna yang terjadi kemudian membuktikan adanya ikterus
kolestatik (ikterus obstruktif). Kolestatis dapat bersifat intrahepatik
atau ekstrahepatik (Lindseth, 2006).
D. Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan pada hati. (Newman, Dorland, 2002).
Kebanyakan
kasus hepatitis virus akut pada anak dan dewasa disebabkan oleh salah
satu agen berikut : virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV),
virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV), virus hepatitis E
(HEV), atau virus hepatitis G (HGV). (Jawetz, Melnick, et al, 2005)
Setelah terpajan virus hepatitis, dapat terjadi sejumlah sindrom klinis :
1. Keadaan pembawa : tanpa memperlihatkan penyakit, atau dengan hepatitis kronis subklinis.
2. Infeksi asimtomatik : hanya bukti serologis.
3. Hepatitis akut : anikterik atau ikterik.
4. Hepatitis kronis : dengan atau tanpa perkembangan menjadi sirosis.
5. Hepatitis fulminan : nekrosis hati submasif sampai masif
HAV dan HEV tidak menyebabkan keadaan pembawa atau menyebabkan hepatitis kronis. (Robbins, Stanley, et al, 2007)
Patologi
: pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran dan berwarna normal,
namun kadang-kadang agak edema, membesar, dan pada palpasi “teraba
nyeri di tepian”. Secara histologi, terjadi kekacauan susunan
hepatoseluler, cedera, dan nekrosis sel hati dalam berbagai derajat, dan
peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempaurna,
bila fase akut penyakit mereda. Pada beberapa kasus, nekrosis submasif
atau masif dapat mengakibatkan gagal hati fulminan dan kematian
(Lindseth, 2006).
Manifestasi klinis :
1. Stadium
praikterik berlangsung 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah,
anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut
kanan atas. Urin menjadi lebih coklat.
2. Stadium
ikterik selama 3-6 minggu. Ikterus terlihat pada sklera dan seluruh
tubuh. Keluham berkurang, pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah,
tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri
tekan.
3. Stadium pascaikterik. Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi (Mansjoer, 2001).
Pengobatan
: tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus akut. Tirah
baring, diet rendah lemak, dan tinggi karbohidrat. Pemberian secara
intravena diberikan bila pasien terus-menerus muntah. Aktivitas fisik
perlu dibatasi sampai gejala mereda dan fungsi hati normal lagi.
Pengobatan untuk hepatitis B kronis atau hepatitis C kronis simtomatik
adalah terapi antivirus dengan interferon-α. Terapi antivirus untuk
hepatitis D kronis membutuhkan pasien uji eksperimental. Transplantasi
hati merupakan terapi pilihan bagi penyakit stadium akhir (Lindseth,
2006).
Pencegahan
: terhadap virus hepatitis yang ditularkan melalui fecal-oral adalah
dengan sanitasi yang sempurna, kesehatan umum, dan pembuangan tinja yang
baik. Pencegahan terhadap virus hepatitis B adalah imunisasi. Selain
itu, virus hepatitis yang ditularkan dengan jalur parenteral dicegah
dengan cara pendonor tidak boleh yang menderita hepatitis, serta
perlindungan terhadap petugas kesehatan yang terpapar dengan produk
darah (Mansjoer, 2001).
E. Sirosis Hepatis
Sirosis
adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur
hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal
(Lindseth, 2006).
Sirosis
hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum
laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan
umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).
Sirosis
hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti
belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang
ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Sirosis hati
kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada
satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat
dibedakan melalui biopsy hati (Nurdjanah, 2007).
Patogenesis
Jika
sel-sel parenkim hati hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan
fibrosa yang akhirnya akan berkontraksi disekitar pembuluh darah,
sehingga sangat menghambat darah porta melalui hati. Proses penyakit ini
dikenal sebagai sirosis hati. Penyakit ini lebih umum disebabkan oleh
alkoholisme, tetapi penyakit ini juga dapat mengikuti masuknya racun
seperti karbon tetraklorida, penyakit virus seperti hepatitis
infeksiosa, obstruksi duktus biliaris, dan proses infeksi di dalam
duktus biliaris (Guyton & Hall, 2007).
Berdasarkan
penelitian terakhir, terdapat peran sel stelata dalam pathogenesis
sirosis hati. Dalam keadaan normal sel stelata berperan dalam
keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi.
Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika
terpapar factor tertentu secara terus menerus, maka sel stelata akan
menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka
fibrosis akan berjalan terus didalam sel stelata, dan jaringan hati yang
normal akan diganti oleh jaringan ikat (Nurdjanah, 2007).
Manifestasi Klinis
Gejala
awal: perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan
perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul
impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan
seksualitas (Nurdjanah, 2007).
Gejala
lanjut: gejala lebih menonjol terutama jika ada kegagalan hati dan
hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan
demam tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan
darah, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah
dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2007).
Pada
pemeriksaan fisik, hati biasanya membesar pada awal sirosis, bila hati
mengecil artinya prognosis kurang baik. Konsistensi hati biasanya
kenyal, tumpul, dan nyeri tekan. Terjadi splenomegali, ascites di vena
di kolateral perut dan ekstra abdomen, dan manifestasi di luar perut
terdapat spider nevi di tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang,
dan caput medusae (Suyono et.al, 2006).
Gangguan
hematologic yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan
perdarahan, anemia, leucopenia, dan trombositopenia. Penderita sering
mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar.
Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat
berkurangnya pembentukan factor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia,
leucopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme.
Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif menghancurkan
sel-sel darah dari sirkulasi (Lindseth, 2006).
F. Hipertensi Portal
Vena
porta membawa darah ke hati dari lambung, usus, limpa, pankreas dan
kandung empedu. Vena mesenterika superior dibentuk dari vena-vena yang
berasal dari usus halus, kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan
lambung. Vena porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh
puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri hepatika.
Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena hepatika yang selanjutnya ke
vena kava inferior (Surif & Roma, 2000).
System
porta kadang terhambat oleh gumpalan besar dalam vena porta atau cabang
utamanya. Bila system porta terhambat, kembalinya darah dari usus dan
limpa melalui system porta ke sirkulasi sistemik menjadi sangat
terhambat, menghasilkan hipertensi porta dan tekanan kapiler dalam
dinding usus meningkat 15-20 mmHg diatas normal. Penderita sering
meninggal dalam beberapa jam karena kehilangan cairan yang banyak dari
kapiler kedalam lumen dan dinding usus (Guyton & Hall, 2007).
Peningkatan
tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran vena
porta atau peningkatan aliran darah ke dalam vena splanikus. Obstruksi
aliran darah dalam sistim portal dapat terjadi oleh karena obstruksi
vena porta atau cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan
tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa pengkerutan
(intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid, parasinusoid atau
postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena hepatik (supra hepatik)
(Surif & Roma, 2000).
Studi
terakhir menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara endotelin-1 dan
oksida nitrik dapat merupakan penyebab terpenting peningkatan tahanan
intrahepatik yang merupakan komponen kritis dari sebagian besar
hipertensi portal (Justyna, 2006).
Saluran
kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal
terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke
vena cava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus)
(Lindseth, 2006).
G. Penatalaksanaan
Etiologi
sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi (Nurdjanah, 2007).
Panduan
tatalaksana pasien dengan varises gastroesofageal meliputi pencegahan
episode perdarahan awal (profilaksis primer), pengendalian perdarahan
aktif, dan pencegahan ulang setelah perdarahan awal (profilaksis
sekunder) (Justyna, 2006).
Penatalaksanaan
perdarahan pada sirosis hati adalah sebagai berikut. 1) tamponade
dengan alat seperti pipa Sengstaken-Blakemore (triple lumen) dan
Minnesota (quadruple lumen), vena ditekan dengan balon dan disuntik
dengan larutan yang membuat bekuan dalam vena, 2) vasopressin yang
menurunkan tekanan vena porta dengan mengurangi aliran darah splanknik.
3) operasi pirau portal, menurunkan tekanan portal dengan melakukan
anastomosis vena porta (tekanan tinggi) dengan vena cava inferior
(tekanan rendah) (Lindseth, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
KASUS SIROSIS HEPATIS
Tuan “M”
54 tahun beragama katolik suku jawa pendidikan SMU, pekerjaan
purnawirawan ABRI, dating kerumah sakit tanggal 19 juni 2000 sejak
seminggu yang lalu klien mengeluh mual dan perut semakin membesar BAK
sedikit dan berwarna kuning, 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB
diksertai darah segar (hematomesis melena). klien kerumah sakit bogor,
hasilnya mujal muntah dan BAB darah berhenti, namun keaadan klien
semakkin lemah dan perut semmakin membesar, akhirnya klien dibawwa
kerumah sakit lain, keaadan kllien pada saat penngkajian sudah tanpak
sakit, kesadaran compos metris (CM) tanda vital 120/80 Hg, RR 20x/menit,
N 8x/menit, S 36,5 ⁰c terdapat acitegs dengan llingkar perut 85 cm,
bunyi jantung s1 dan s2 normal, murmur dan gallop tidak ditemukan,
paruvesikuleroksi dada ke2 paru, batuk dan seputum tidak ditemukan,
akral hangat, edema ekstrimitas, turgor kulit elastis integritas kulit
utuh, konjung vita pucat, tonus otot lemah, diagnosa medis sirosis
hepatus tanggal 19 juni 2000
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HIROSIS HEPATIS
RIWAYAT SINGKAT KLIEN
A. PENGKAJIAN
IDENTITAS KLIEN
Nama : tuan “M”
Umur : 54 tahun
Agama : Katolik
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Purnawirawan ABRI
Tanggal masuk rumah sakit : 19 juni 2000
Alas an masuk rumah sakit : keadaan klien lemah dan perut semakin membesar
Tanggal pengkajian :
Keluhan Utama : Mual dan perut semakin membesar
Diagnosa
masuk : Hematomesis melena-gangguan fungsi hati (sirosis hepatis),
sebelum masuk rumah sakit bogor klien pernah dibawa ke rumah sakit yang
lain, klien mengeluh muntah dan perut semakin membesar, BAK sedikit dan
berwarna kkuning. 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB disertai darah
segar (Hematomesis melena).
Hasil pengkajian
1. Kesadaran : Compos metris (CM)
2. Tanda-tanda vital : TD 120/80 Hg, RR 20x/menit, N 8/menit, Suhu 36,5 ⁰c
3. Abdomen : Terdapat acites dengan lingkar perut 85 cm
4. Kardiovaskuler : s1 dan s2 normal
5. Paru-paru :
· Tidak ditemukan murmur dan golap
· Paruvesikuletiksi dada ke 2 paru
· Batuk
· Skutum tidak ditemukan
6. Akral hangat
7. Edema ekstrimata
8. Turgor kulit elastic
9. Integritas kulit utuh
10. Kunjungvita pucat
11. Tonus otot lemah
Riwayat penyakit
a. Keluhan utama : klien mengeluh mual dan perut semakin membesar
b. Riwayat penyakit sekarang : 7 hari yang lalu muntah dan BAB disertai darah segar (hematomesis melena).
c. Riwayat
penyakit dahulu : 7 (tujuh) hari yang lalu muntah dan BAB disertai
darah segar (hematomesis melena). klien kerumah sakit bogor, hasilnya
mujal muntah dan BAB darah berhenti, namun keaadan klien semakin lemah
dan perut semakin membesar, akhirnya klien dibawa kerumah sakit lain
d. Riwayat penyakit keluarga
e. Riwanyat aktivitas sehari-hari
f. Data psikologis, sosiologi dan spiritual
Pemeriksaan fisik
· Ku umum : Kesadaran compos metris (CM) tanda vital 120/80 Hg, RR 20x/menit, N 8x/menit, S 36,5 ⁰c.
· Abdomen : Terdapat acites dengan llingkar perut 85 cm,
· Kardiovaskuler : Bunyi jantung s1 dan s2 normal, murmur dan gallop tidak ditemukan,
· Paru-paru : Paruvesikuleroksi dada ke2 paru, batuk dan seputum tidak ditemukan, akral hangat,
· Ekstremitas : Edema ekstrimitas,
· Kulit : Turgor kulit elastis integritas kulit utuh,
· Mata : Konjung vita pucat,
· Integrumen : Tonus otot lemah,
B. Diagnosa keperawatan
1. Resiko gangguan nutrisi b/d intake tidak adekuat ditandai dengan mual muntah
2. Intoleransi aktivitas b/d tonus otot lemah
3. Resiko gangguan integritas kulit b/d edema ekstermitas
C. Intervensi keperawatan
Dx 1 Resiko gangguan nutrisi b/d intake tidak adekuat di tandai dengan mual muntah
a. Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu
Rasional:
Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi
fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia,dan ganggguan rasa)
dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan
nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi
pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB
secara periodik.
b. Anjurkan pasien untuk istirahat/bedrest
Rasional:
Dimungkinkan
dapat mengurangi dan menstabilkan kebutuhan nutrisi dan mengurangi
tingkat energi yang tidak diperlukan karena pasien dalam kondisi
meningkat energinya dalam mengalami proses penyakit.
c. Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet
Rasional
Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dnegan status uremik.
d. Tawarkan
perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 %
sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
Rasional:
Membran
mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejjukkan, dan
membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia
dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
e. Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan cultural.
Rasional:
Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
f. Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak
Rasional:
Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
g. Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
Rasional
Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
h. Kolaborasi
· Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional:
Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
· Pemasangan NGT
Rasional:
Mempertahankan intake yang adekuat, dan menghindarkan terjadinya reaksi muntah yang berlanjut.
· Berikan obat sesuai dengan indikasi:Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan
Rasional
Hati
yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga
terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemi. Dan
Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
· Kolaborasi pemberian antiemetik
Rasional:
Untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
Dx 2 intoleransi aktifitas b/d tonus otot lemah
a. Kaji ulang fungsi jantung normal/konduksi eliktrikal
Rasional : memeberikan dasar pengetahuan untuk memahami variasi individual dan memahami alasan intervensi terapeutik
b. Jelaskan/tekankan masalah disritmia khusus dan tindakan terapeutik pada pasien/orang terdekat
Rasional
: informasi terus-menerus/baru dapat menurunkan cemas sehubungan dnegan
ketidaktahuan dan menyiapkan pasien/orang terdekat. Pendidikan pada
orang terdekat mungkin penting bila pasien lansia, mengalami gangguan
penglihatan atau pendengaran, atau tak mampu atau tak minat
belajar/mengikuti instruksi. Penjelasan berulang mungkin diperlukan,
karena kecemasan dan/atau hambatan informasi baru dapat
menghambat/membatasi belajar.
c. Bantu pemasangan/mempertahankan fungsi pacu jantung
Rasional
: pacu sementara mungkin perlu untuk neningkatkan pembentukan impuls
atau menghambat takidisritmia dan aktivitas ektopik supaya
mempertahankan fungsi kardiovaskuler sampai pacu spontan diperbaiki atau
pacuan permanent dikakukan.
d. Dorong pengembangan latihan rutin, menghindari latihan berlebihan. Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan aktivitas cepat, contoh pusing, silau, dispnea, nyeri dada.
Rasional
: bila disritmia ditangani dengan tepat, aktivitas normal harus
dilakukan. Program latihan berguna dalam memperbaiki kesehatan
kardiovaskuler.
Dx 3 resiko gangguan integritas kulit b/d edema ekstermitas
Tujuan : Integritas kulit baik
Intervensi :
a. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
b. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
c. Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
d. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional
: Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya
retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
e. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
f. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan
dengan benar.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari
kasus di atas dapat kita mengangkat kesimpulan bahwa klien menderita
hirosis hepatis,hirosis hepatis itu sendiri di definisikan oleh beberapa
ahli adalah:
Sirosis
adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur
hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal
(Lindseth, 2006).
Sirosis
hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum
laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan
umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan
puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).
Sirosis
hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti
belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang
ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Sirosis hati
kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada
satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat
dibedakan melalui biopsy hati (Nurdjanah, 2007).
Masalah
Keperawatan yang ada pada teori tidak selalu sama dengan masalah yang
muncul pada kasus, karena respon individu secara
bio-psiko-sosial-spiritual yang spesifik terhadap penyakit dan juga
manusia itu adalah makhluk yang unik.
2. SARAN
a. Mahasiswa
- Gunakanlah waktu sebaik-baiknya untuk mencari ilmu untuk masa depan yang cemerlang.
- Gunakanlah
makalah ini sebagai sumber ilmu untuk mempelajari tentang asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sirosis hepatis.
b. Akademik
- Bimbinglah mahasiswa-mahasiswa keperawatan dalam membuat asuhan keperawatan yang baik dan benar
DAFTAR PUSTAKA
Nursing Practice Hospital and Home the Adult , Second edition, Toronto. Churchill Livingstone. Bullock, Barbara (2000).
Brunner&Suddarth’s: Textbook of Medical Surgical Nursing.9th. Philadelphia: Lippincott.University of Utah Hospital (2006),
Doenges,
Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999).
Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
(EGC).
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar