Artritis Reumatoid (Rematik)
Definisi
Artritis
Reumatoid (AR) salah satu dari beberapa penyakit rematik adalah suatu
penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi.
Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu
sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu,
dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan
kerusakan total sendi. Akhirnya, kondisi ini dapat pula mengenai
berbagai organ tubuh.
Penyakit
ini timbul akibat dari banyak faktor mulai dari genetik (keturunan)
sampai pada gaya hidup kita (merokok). Salah satu teori nya adalah
akibat dari sel darah putih yang berpindah dari aliran darah ke membran
yang berada disekitar sendi.
Faktor risiko yang akan meningkatkan risiko terkena nya artritis reumatoid adalah;
- Jenis Kelamin.
Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki. Perbandingannya adalah 2-3:1.
- Umur.
Artritis
reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis
reumatoid juvenil)
- Riwayat Keluarga.
Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis rematoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.
- Merokok.
Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda dari AR dapat dilihat sebagai berikut;
- Nyeri sendi
- Pembengkakan sendi
- Nyeri sendi bila disentuh atau di tekan
- Tangan kemerahan
- Lemas
- Kekakuan pada pagi hari yang bertahan sekitar 30 menit
- Demam
- Berat badan turun
Artritis
reumatoid biasanya menyebabkan masalah dibeberapa sendi dalam waktu
yang sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil seperti,
pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki, dan kaki. Dalam perjalanan
penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi bahu, siku, lutut,
panggul, rahang dan leher.
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan
tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaaan darah rutin. Orang
dengan RA pemeriksaan rasio sedimen eritrosit (ESR) cenderung meningkat,
pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya proses peradangan dalam
tubuh. Pemeriksaan darah lain yang biasa nya dilakukan adalah
pemeriksaan antibodi seperti faktor rheumatoid dan anti-CCP.
Selain
itu juga dapat dilakukan analisa cairan sendi. Dokter anda akan
mengambil cairan sendi dengan menggunakan jarum steril, lalu cairan
sendi akan dianalisa apakah terdapat peningkatan kadar leukosit atau
tidak dan juga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit rematik
lainnya.
Pemeriksaan
foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas penyakit RA. Dari
hasil foto dapat dilihat adanya kerusakan jaringan lunak maupun tulang.
Pemeriksaaan ini dapat memonitor progresifitas dan kerusakan sendi
jangka panjang.
Tata Laksana
Penyakit
rheumatoid arthritis tidak dapat disembuhkan. Tujuan dari pengobatan
adalah mengurangi peradangan sendi untuk mengurangi nyeri dan mencegah
atau memperlambat kerusakan sendi. Secara umum pengobatan yang dapat
dilakukan adalah pemberian obat-obatan dan operasi.
Dibawah ini adalah contoh-contoh obat yang dapat diberikan;
- NSAIDs. Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka waktu yang lama.
- Kortikosteroid. Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metilprednisolon dapat mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping yang serius.
- Obat remitif (DMARD). Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas.
Pembedahan
menjadi pilihan apabila pemberian obat-obatan tidak berhasil mencegah
dan memperlambat kerusakan sendi. Pembedahan dapat mengembalikan fungsi
dari sendi anda yang telah rusak. Prosedur yang dapat dilakukan adalah
artroplasti, perbaikan tendon, sinovektomi.
Istilah rheumatism berasal dari bahasa Yunani, rheumatismos,
yang berarti mukus; suatu cairan yang dianggap jahat, mengalir dari
otak ke sendi dan struktur lain tubuh sehingga menimbulkan rasa nyeri.
Beberapa penelitian menunjukkan memang ada perubahan struktur mucine
sendi (mukopolisakarida, asam hialuronat) pada beberapa jenis penyakit
reumatik, sehingga istilah yang telah agak lama dipakai itu agaknya
masih sesuai sampai saat ini.
Setiap kondisi yang disertai nyeri dan kaku pada sistem muskuloskeletal disebut reumatik, termasuk penyakit jaringan ikat (penyakit kolagen). Sedangkan istilah artritis, umumnya dipakai bila sendi merupakan tempat utama penyakit reumatik.
Reumatologi
adalah ilmu yang mempelajari penyakit sendi, termasuk penyakit
artritis, fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainnya yang
menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan.
Hingga
kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi yang seringkali
memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu pendekatan
diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat,
sehingga pasien akhirnya memperolah penatalaksanaan yang adekuat. Perlu
diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi
artikular berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik
mempunyai manifestasi ekstra-artikular pada berbagai organ. (1)
2.1. Definisi
Artritis
Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan
tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh.7
Terlibatnya sendi pada pasien artritis reumatoid terjadi setelah
penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat
progesifitasnya.3 Pada umumnya selain gejala artikular, AR
dapat pula menunjukkan gejala konstitusional berupa kelemahan umum,
cepat lelah atau gangguan organ non artikular lainnya.7
Artritis
Reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi
(sinovium) yang mana menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak dan
merah. Peradangan sinovium dapat menyerang dan merusak tulang dan
kartilago. Sel penyebab radang melepaskan enzim yang dapat mencerna
tulang dan kartilago. Sehingga dapat terjadi kehilangan bentuk dan
kelurusan pada sendi, yang menghasilkan rasa sakit dan pengurangan
kemampuan bergerak.2
Artritis
adalah inflamasi dengan nyeri, panas, pembengkakan, kekakuan dan
kemerahan pada sendi. Akibat artritis, timbul inflamasi umum yang
dikenal sebagai artritis reumatoid yang merupakan penyakit autoimun.14
Manifestasi
tersering penyakit ini adalah terserangnya sendi yang umumnya menetap
dan progresif. Mula-mula yang terserang adalah sendi kecil tangan dan
kaki. Seringkali keadaan ini mengakibatkan deformitas sendi dan gangguan
fungsi disertai rasa nyeri.16
2.2. Epidemiologi
Artritis
Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar
luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai 2,1 persen).15 Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1.7 Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.8
Artritis
Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.
Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering
pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid
yang dibandingkan dengan 600.000 pria.2
2.3. Etiologi
Penyebab
Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik dan beberapa
faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit
ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.8
Kecenderungan
wanita untuk menderita AR dan sering dijumpainya remisi pada wanita
yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya faktor keseimbangan
hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini.
Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen eksternal tidak
pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini
belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan
penyebab penyakit ini.8
Sejak
tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor
infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit
ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran
inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan
isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan
atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR.
Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah
bakteri, mikoplasma atau virus.8,10
Heat shock protein
(HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang (60 sampai 90 kDa)
yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons terhadap stress.
Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan sel T pada
pasien AR, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.10
2.4. Patogenesis
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen presenting cells
(APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A,
sel dendritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR
pada membran selnya. Antigen yang telah diproses akan dikenali dan
diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks
trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1
(IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+
akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri
dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut.
Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor b (TNF-b), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan
aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B
ini dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4.
Setelah
berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang
akan membebaskan komponen-komplemen C5a. Komponen-komplemen C5a merupakan
faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga
dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke
arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial
menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada AR adalah
peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel
PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis
kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan
pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease
neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.8,10
Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi
hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan
sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2)
memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya
resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNF-b.
Rantai
peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab
dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur
persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.10
Tidak terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga
disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah
suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada
70-90 % pasien AR. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau
mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut
terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi
mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya
sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling
destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi
yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan
rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak
dijumpai kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.7
2.5. Gambaran Klinis
Ada
beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat
yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang
sangat bervariasi.
1.
Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2.
Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi
di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs
distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3.
Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat
generalisata tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda
dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
Gambar 1. Rheumatoid Arthritis Versus Osteoarthritis. 4
4.
Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi
tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.
5.
Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi
sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa
adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita.
Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul
sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat
terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi.
6.
Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi
yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi
siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun
demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya.
Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu
penyakit yang aktif dan lebih berat.
7.
Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru
(pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.13
Tabel 2. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid, Revisi 1987. 5
Kriteria
|
Definisi
|
1. Kaku pagi hari
|
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan disekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
|
2. Artritis pada 3 daerah
|
Pembengkakan
jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan
tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang
diobservasi oleh seorang dokter. Dalam kriteria ini terdapat 14
persendian yang memenuhi kriteria yaitu PIP, MCP, pergelangan tangan,
siku pergelangan kaki dan MTP kiri dan kanan.
|
3. Artritis pada persendian tangan
|
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti yang tertera diatas.
|
4. Artritis simetris
|
Keterlibatan
sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua
belah sisi, keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima
walaupun tidak mutlak bersifat simetris.
|
5. Nodul rheumatoid
|
Nodul
subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah
juksta-artrikular yang diobservasi oleh seorang dokter.
|
6. Faktor rheumatoid serum
|
Terdapatnya
titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara yang
memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang
diperiksa.
|
7. Perubahan gambaran
|
Perubahan
gambaran radiologis yang radiologis khas bagi arthritis reumotoid
pada periksaan sinar X tangan posteroanterior atau pergelangan tangan
yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokalisasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi
(perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan).
|
Untuk
keperluan klasifikasi, seseorang dikatakan menderita artritis
reumatoid jika ia sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di
atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6 minggu.
Pasien dengan dua diagnosis tidak dieksklusikan. Pembagian diagnosis
sebagai artritis reumatoid klasik, definit, probable atau possible
tidak perlu dibuat.
|
* PIP : Proximal Interphalangeal, MCP : Metacarpophalangeal, MTP: Metatarsophalangeal
2.1. Manivestasi Klinis Artritis Reumatoid
Walaupun
gejala AR dapat timbul berupa serangan poliartritis akut yang
berkembang cepat dalam beberapa hari, pada umumnya gejala penyakit
berkembang secara perlahan dalam masa beberapa minggu. Dalam keadaan
dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism,
yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung
antara 3 sampai 5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelum
bermanifestasi sebagai AR yang khas. Dalam keadaan ini AR juga dapat
bermanifestasi sebagai paurciarticular rheumatism, yaitu gejala
poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran
klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan
diagnosis AR dalam masa dini.1
2.2. Manivestasi Neurologis
Manivestasi
neurologis sering terjadi pada penderita artritis reumatoid kronis
dengan faktor reumatoid positif. Sering terjadi neuropati. Neuropati
kompresi atau jepitan terjadi akibat pembengkakan jaringan ikat yang
menekan saraf tepi. Paling sering terjadi kompresi saraf medianus pada
pergelangan tangan yang dikenal sebagai sindroma terowongan karpal
(CTS); carpal tunnel syndrome). Neuropati sensoris bagian distal
dengan disestesia atau rasa terbakar pada tangan atau kaki yang terjadi
kadang sukar dibedakan dengan gejala artritisnya. Jarang terjadi
neuropati sensorimotor, tetapi bila terjadi bersifat progresif dan dapat
menyebabkan suatu penurunan kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas. Mielopati dapat terjadi pada penderita AR karena sering
terlibatnya vertebra servikalis dan menimbulkan penyempitan kanalis
spinalis pada fleksi leher setelah terjadi subluksasi atlantoaksial.
Gejala akibat gangguan sirkulasi posterior berupa vertigo dan kelemahan
akibat kompresi atau trombosis arteria vertebralis. Penderita artritis
reumatoid lanjut harus mengenakan bidai leher bila mengendarai mobil
atau motor dan harus dilakukan foto leher posisi fleksi sebelum
menjalani anestesi umum. Artritis reumatoid juga dapat mengakibatkan
miopati.11
2.3. Manivestasi Artikular
Manifestasi artikular ini dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel.
2. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel.
Adalah
sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena penatalaksanaan
kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan
yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan
medikamentosa atau pengobatan non-surgikal lainnya. Pada fihak lain
kerusakan struktur persendian akibat kerusakan rawan sendi atau erosi
tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat diperbaiki lagi
dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.
Gejala
klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi
hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada
AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien
osteoartritis atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku pagi hari pada
AR berlangsung lebih lama, yang pada umumnya lebih dari 1 jam. Lamanya
kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi
pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi
hari akan menghilang jika remisi dapat tercapai. Faktor lain penyebab
kaku pagi hari adalah inflamasi akibat sinovitis. Inflamasi akan
menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika berlangsung lama
akan mengurang pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.1
Otot
dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan
cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomen ini terutama
jelas terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan sepanjang
persendian metacarpophalangeal, (MCP) dan otot peroneus anterior yang
berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.
Deformitas
persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang
berhubungan dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus.
Sinovitis akan menyebabkan kerusakan rawan sendi dan erosi tulang
periartikular sehingga menyebabkan terbentuknya permukaan sendi yang
tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan
imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang-tulang yang
membentuk persendian. Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen
serta proteoglikan rawan sendi dan tulang dapat menghancurkan struktur
persendian sehingga terjadi ankilosis.
Ligamen
yang dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan
persendian yang stabil dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang
menetap atau pembentukan pannus yang memiliki kemampuan melarutkan
kolagen tendon, ligamen atau rawan sendi. Gangguan stabilitas dapat
jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya
perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga
menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang khas dan AR.1
Walaupun
peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas persendian berlaku bagi
semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang berhubungan dengan
sendi tertentu.
Vertebra Servikalis
Walaupun
AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis
merupakan segmen yang sering terlibat pada AR. Proses inflamasi ini
melibatkan persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh
pemeriksaan. Gejala dini AR pada Vertebra servikalis umumnya
bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai
dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.1 Tenosinovitis ligamen transversum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid C2 dapat menyebabkan timbulnya gangguan stabilitas C1- C2. Mielopati
dapat timbul akibat terjadinya erosi prosesus odontoin yang menyebabkan
pengenduran dan ruptura ligamen sehingga menimbulkan penekanan pada
medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan
kerusakan pada permukaan sendi apofiseal dan pengenduran ligamen juga
dapat menyebabkan terjadinya subluksasio yang sering dijumpai pada C4-C5 atau C5 -C6.
Gelang Bahu
Peradangan
pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu.
Karena dalam aktivitas sehari-hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup
gerak yang luas, umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa
terganggu dengan keterbatasan tersebu. Walaupun demikian, tanpa latihan
pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu yang berat yang
disebut sebagai frozen shoulder syndrome.
Siku
Karena
terletak superfisial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah
teraba oleh pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus
ulnaris sehingga menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini
bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan 5 akan kelemahan otot
fleksor jari 5
Gambar 2. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid nodules at the elbow.
Photograph by David Effron MD, FACEP.17
Tangan
Berlainan
dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relatif jarang
dijumpai, keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP dan PIP hampir
selalu dijumpai pada AR. Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, heperekstensi PIP dan fleksi DIP serta boutonniere
akibat fleksi PIP dan hiperekstensi DIP dapat terjadi akibat kontraktur
otot serta tendon fleksor dan interoseus merupakan deformitas
patognomonik yang banyak dijumpai pada AR
Selain
gejala yang berhubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai
nyeri atau disfungsi persendian akibat penekana nervus medianus yang
terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis sehingga
menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome. Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam kanal Guyon dapat pula mengalami penekanan dengan mekanisme yang sama.
AR
dapat pula menyebabkan terjadinya tenosinovitis akibat pembentukan
nodul reumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat menghambat gerakan
tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan
terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya ruptur tendon yang
terlibat.
Gambar 3. Arthritis, Rheumatoid. Rheumatoid changes in the hand.
Photograph by David Effron MD, FACEP. 17
Panggul
Karena
sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul
akibat AR umumnya sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini
keterlibatan sendi panggul mungkin hanya dapat terlihat sebagai
keterbatasan gerak yang tidak jelas atau gangguan ringan pada kegiatan
tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika
destruksi rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Lutut
Penebalan
sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Herniasi kapsul sendi kearah posterior dapat menyebabkan terbentuknya
kista Baker.
Kaki dan Pergelangan Kaki
Keterlibatan
persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran
yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan
struktur yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan
disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat dibandingkan dengan
keterlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi talonavikularis
akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan
deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun
jarang, nervue tibialis posterior dapat pula mengalami penekanan akibat
sinovitis pada rongga tarsalis (tarsal tunnel) yang dapat menimbulkan
gejala parestesia pada telapak kaki.
2.4. Komplikasi
Kelainan
sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus
peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.
Komplikasi
saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar
dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya
berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal
dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Tidak
banyak berperan dalam diagnosis artritis reumatoid, namun dapat
menyokong bila terdapat keraguan atau untuk melihat prognosis pasien.
Pada pemeriksaan laboraturium terdapat:
1.
Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis
reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien
lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues,
endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis.
2. Protein C-reaktif biasanya positif.
3. LED meningkat.
4. Leukosit normal atau meningkat sedikit.
5. Anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik.
6. Trombosit meningkat.
7. Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
Pada
periksaan rontgen, semua sendi dapat terkena, tapi yang tersering
adalah sendi metatarsofalang dan biasanya simetris. Sendi sakroiliaka
juga sering terkena. Pada awalnya terjadi pembengkakan jaringan lunak
dan demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi
dan erosi.
2.6. Penatalaksanaan
Setelah
diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan
adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien
dengan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.
Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara
ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup
lama.
1.
Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan yang
akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik dan terjamin ketaatan
pasien untuk tetap berobat dalam jangka waktu yang lama.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan:
a. Aspirin
Pasien
dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x 1 g/hari, kemudian
dinaikkan 0,3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala
toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3.
DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat
setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya
dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan penggunaannya
bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera
diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila
respon OAINS tidak baik, meski masih dalam status tersangka.
Jenis-jenis yang digunakan adalah:
a.
Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.
b.
Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis
1 x 500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4
x 500 mg. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1
g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai remisi
sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat ini
dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek
sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.
c.
D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan
dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4
minggu sebesar 250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300
mg/hari. Efek samping antara lain ruam kulit urtikaria atau
mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.
d. Garam emas adalah gold standard bagi
DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski sering timbul efek
samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai
dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul
dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50
mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan
sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat
diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai.
Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia,
dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada
awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.
Metotreksat
sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu.
Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus
ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang
ditemukan. Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam
penelitian.
f.
Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid dengan
komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis, karena obat
ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis rendah (seperti
prednison 5-7,5 mg satu kali sehari) sangat bermanfaat sebagai bridging therapy
dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai bekerja, yang kemudian
dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan suntikan kortikosteroid
intraartikular jika terdapat peradangan yang berat. Sebelumnya, infeksi
harus disingkirkan terlebih dahulu.3
4. Riwayat Penyakit alamiah
Riwayat
penyakit alamiah AR sangat bervariasi. Pada umumnya 25% pasien akan
mengalami manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami
satu episode AR dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Pada
pihak lain sebagian besar pasien akan menderita penyakit ini sepanjang
hidupnya dengan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat
(jenis polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita AR yang
progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang
menetap pada setiap eksaserbasi.12
Penelitian
jangka panjang menunjukkan bahwa dengan pengobatan yang digunakan saat
ini, sebagian besar pasien AR umumnya akan dapat mencapai remisi dan
dapat mempertahankannya dengan baik pada 5 atau 10 tahun pertamanya.
Setelah kurun waktu tersebut, umumnya pasien akan mulai merasakan bahwa
remisi mulai sukar dipertahankan dengan pengobatan yang biasa digunakan
selama itu. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien sukar
mempertahankan ketaatannya untuk terus berobat dalam jangka waktu yang
lama, timbulnya efek samping jangka panjang kortikosteroid. Khasiat
DMARD yang menurun dengan berjalannya waktu atau karena timbulnya
penyakit lain yang merupakan komplikasi AR atau pengobatannya. Hal ini
masih merupakan persoalan yang banyak diteliti saat ini, karena saat ini
belum berhasil dijumpai obat yang bersifat sebagai disease controlling antirheumatic therapy (DC-ART).9
5. Rehabilitasi pasien AR
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien AR dengan cara:1
· Mengurangi rasa nyeri
· Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
· Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
· Mencegah terjadinya deformitas
· Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
· Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang lain.
Rehabilitasi
dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan mengistirahatkan
sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan modalitas terapi
fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa nyeri
dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan AR telah
ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.7
6. Pembedahan
Jika
berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan.
Jenis pengobatan ini pada pasien AR umumnya bersifat ortopedik, misalnya
sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan sebagainya.
2.7. Artritis Reumatoid Juvenilis
Anak-anak
dapat terkena AR seperti orang dewasa. Di Amerika Serikat 13,9/
100.000. Terdapat tiga subtipe AR juvenilis bila dipandang dari awitan
gejalanya.
Awitan
sistemik (penyakit still) mengenai sekitar 20% dari semua kasus. Anak
laki-laki dan perempuan terserang dalam jumlah yang sebanding. Bentuk
ini dapat terjadi pada setiap usia. Sesuai dengan namanya penyakit ini
melibatkan berbagai sistem organ, namun disamping itu juga
mengakibatklan poliartritis klinik. Subtipe ini memiliki prognosis
terburuk dari antara ketiga tipe dan dapat menyebabkan keterlambatan
dalam pertumbuhan.
Awitan
poliartikular bertanggung jawab atas sekitar 40% dari semua kasus. Anak
perempuan diserang dengan rasio 2:1 bila dibandingkan dengan anak
laki-laki, dan bentuk ini juga dapat terjadi pada semua umur. Lima atau
lebih sendi terserang pada saat yang bersamaan tetapi biasanya hanya
mengkibatkan kelainan ekstra artikular yang tidak berat. Bentuk ini
memiliki prognosis yang lebih baik daripada awitan sistemik, tetapi
dapat juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan.
Awitan
pausiartikular bertanggung jawab atas kira-kira 40 dari semua kasus.
Anak perempuan yang diserang dengan rasio 6:1 bila dibandingkan dengan
laki-laki. Bentuk ini biasanya terjadi sebelum usia 6 tahun. Tidak lebih
dari 4 sendi akan diserang, dan biasanya tidak ada atau jarang terjadi
kelainan ekstra-artikular. Bentuk ini memiliki prognosis yang paling
baik dari ketiga bentuk.
Penatalaksanaan
artritis reumatoid juvenilis serupa dengan penatalaksanaan penyakit ini
pada orang dewasa, tetapi ada beberapa perbedaan penting. Beberapa obat
yang dipakai untuk orang dewasa tidak boleh diberikan pada anak-anak.
Kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan,
osteoporosis dan katarik. Beberapa obat imunosupresif dapat menekan
fungsi sumsum tulang, sterilitas, dan keganasan pada anak-anak.13
Kesimpulan
1.
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik menahun
yang proses patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
2.
Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan artritis
yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala timbul
perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan, turunnya
berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
3.
Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai menimbulkan
kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan gejala
deformitas/cacat yang menetap. Selain itu karena penyakit ini bersifat
kronis dan sering kambuh, maka penderita akan mengalami penurunan
produktivitas pekerjaan karena gejala dan keluhan yang timbul
menyebabkan gangguan aktivitas fisik, psikologis, dan kualitas hidup
menderita.
4. Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai.
5.
Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi atau
sedapat mungkin berusaha menekan aktivitas penyakit tersebut. Tujuan
utama dari program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan,
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan/atau memeperbaiki
deformaitas.
DAFTAR PUSTAKA
- Anderson RJ., 1993, Rheumatoid Arthritis. Clinical features and laboratory. Dalam : Schumacher Jr. HR, Klippel JH. Koopman WJ, eds. Primer on the Rheumatic Diseases. The Arthritis Foundation, Atlanta: 90-95.
- Anonim, 2004, Arthritis, http://www.arthritis.org.
- Anonim, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Ed.III, hal. 536-539. Jakarta: Media Aeculapius.
- Anonim, 2004, Rheumatoid Arthritis, http://mayoclinic.com.
- Arnett FC, Edworthy SM, Bloch DA, et al., 1988, The American Rheumatism Association 1987, Revised Criteria for the Classification of Rheumatoid of Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum; 31 (3):315-24.
- Daud R., 1994, Pengobatan Artritis Reumatoid. Bul Reum Ind; 1 (3):1-6.
- Daud. R. dan Adnan H.M., 1996, Artritis Reumatoid Dalam: Noer S. (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed. III. Hal. 62-70. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
- Dessureault M, Carette S.,1989, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Triangle; 28: 5-14.
- Edmonds JP, Scoot DL, Furst DE, et al., 1993, Antirheumatic drugs: a proposed new classification. Editorial. Arthritis Rheum; 36 (3): 336-39.
- Harris ED Jr., 1993, Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Dalam: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Eds. Textbook of Rheumatology. 4th Ed. W.B. Saunders Co., Philadelpia; 833-873.
- Howard L. Weiner, Lawrence P. Levitt, 2001, Buku Saku Neurologi, Edisi V, hal. 232, Jakarta: EGC.
- Kraag GR., 1989, Clinical Aspects in Rheumatoid Arthritis. Triangle; 29: 15-24.
- Michael A. Carter, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2, Edisi IV, hal. 1223-1229, Jakarta: EGC.
- Nasution, Artritis Reumatoid, 1996, Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, ed. III, hal 29-36. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
- Peter E. L., 2000,Arthritis Rheumatoid, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, ed XIII, vol.4, hal 1840-1847, Jakarta:EGC.
- Price, SA. Dan Wilson LM., 1993, Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit bag 2. Ed. II. Hal 410-441. Jakarta: EGC.
- Randall King, MD., 2003, Rheumatoid Arthritis, http://www.emedicine.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar